0

Laporan kegiatan seminar IP/TV



> Nama kegiatan : Seminar IP-TV "Turn on your television with networking"
Pembicara : Erry Rahmawan (senior service creation PT.Telkom)
Waktu dan Tempat : Sabtu 9 April 2011, Auditorium Universitas Gunadarma Kampus J 167

I P/TV adalah suatu pengembangan baru dalam software komunikasi client-server yang mem-broadcast video yang berkualitas tinggi (setara real time full motion video secara simultan ) ke user window melalui jaringan data yang ada sekarang. Beberapa feature yang dimiliki oleh IP/TV ini adalah :
· IP/TV dapat menyiarkan secara live atau prerecorded digital video program-program pendidikan, komersial,dsb, serta dapat melakukan capturing dan transmisi program dari berbagai source.
· IP/TV dapat melakukan scheduling /penjadwalan program sesuai dengan kebutuhan antara pemilik informasi dan audience. Viewer dapat memilih program dari suatu listing yang akan dilihatnya.
· IP/TV dapat memberikan layanan yang ekonomis namun dengan tidak mengorbankan kualitas layanan. Ini karena teknologi bandwidth transmisi yang efisien, yaitu IP multicasting.
· IP/TV mendukung format standard MPEG (Motion Picturre Experts Group) untuk memberikan high quality, full motion video. Feature ini merupakan tambahan terhadap standard CODEC (compression/decompression) untuk menjamin kualitas gambar yang optimal sesuai dengan spesifikasi aplikasi dan bandwidth yang tersedia.
· Bila dibandingkan dengan metode tutorial yang konvensional, IP/TV lebih efisien karena tidak perlu membayar instruktur, biaya print materi relatif lebih sedikit, tidak perlu menyewa ruang seminar khusus (karena IP/TV dapat diakses oleh setiap meja selama terkoneksi dalam satu LAN/WAN).

Berbagai macam kelebihan yang ditawarkan IPTV ketimbang TV kabel atau satelit, salah satunya:

kemampuan untuk merekam atau menghentikan gambar (pause) saat tayangan tersebut disiarkan.
bisa diakses secara mobile tanpa harus berada di dalam rumah. Sebab, terdapat alat yang disebut set of box, yang berfungsi seperti decoder, sehingga melalui internet, tayangan itu dapat dinikmati dari jarak jauh. selain itu masih banyak kelebihannya yang dapat menyaingi tv kabel berbayar.

Ini merupakan langkah Telkom untuk merevitalisasi jaringan kabel yang ada di negara kita. IPTV tidak hanya bisa menampilkan siaran televisi pada umumnya, tetapi bisa juga untuk radio, audio, video, game, teks, bahkan sampai data kepada pelanggan melalui sebuah protokol internet. Hal-hal baru yang ditawarkan oleh IPTV adalah:
• Broadcast televisi dan video di atas akses Internet
• Content on demand, yang meliputi video, TV, musik
• Interaksi multimedia dengan kecepatan true broadband, yang meliputi layanan game, shopping, advertising, dan lain-lain
• Kualitas layanan (quality of service) dan kualitas pengalaman (quality of experience) bagi pelanggan yang terus terpelihara.

Dengan adanya IPTV ini, diharapkan perkembangan teknologi informasi di Indonesia semakin maju. Di seluruh dunia, penyedia layanan IPTV yang paling laris adalah PCCW (Hong Kong) yang mempunyai pelanggan lebih dari 850.000 orang. Selain itu, di Perancis juga ada France Telecom yang mempunyai sebanyak 800.000 pelanggan. Jumlah pelanggan TV berbayar di Indonesia sangatlah rendah. Hanya sekitar dua persen dari keseluruhan.

Karena itulah Telkom menilai potensi IP/TV ini cukup besar, walaupun segmen yang coba dibidik mungkin lebih ditujukan ke segmen kelas atas. Bagi Telkom, IPTV adalah langkah pertama dalam penggelaran aplikasi multimedia dengan interaktivitas tinggi di atas jaringan true broadband. IPTV menawarkan pengalaman digital yang lebih interaktif, mudah, nyaman, dan lengkap bagi pelanggan Telkom Group.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0

Resensi Novel



>



• Judul : Victory
• Pengarang : Luna Torashyngu
• Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
• Tahun Terbit : 2006
• Halaman : 296 halaman

- Sinopsis Novel
Novel ini menceritakan tentang arti dari sebuah cinta sejati. Oti dan Raka adalah dua saudara tiri yang berbeda karakter dan sifat. Oti adalah seorang cewek tomboy dan cuek, tetapi dia mempunyai kelebihan yaitu keberanian dalam membela teman-temannya. Sedangkan Raka adalah seorang cowok dengan sikap tenang dan dewasa.
Saat membela temannya, Oti menerima tantangan dari kakak kelasnyauntuk mengikuti pemilihan putri SMA, di SMAnya. Untuk memenangkan pertandingan, Oti harus menjadi gadis yang feminim. Dia diharuskan memakai make-up dan gaun yang tidak pernah dipakainya. Namu8n Oti menerima tantangan kakak kelasnya itu. Dia mulai berubah dirinya agar dia bisa memenangkan kontes itu, walaupun sempat putus asa.
Raka yang dulunya benci mulai perlahan memperhatikan perubahan pada diri Oti dan diam-diam timbul perasaan yang aneh pada dirinya. Raka mulai menjadi lebih perhatiandan lembut. Perlahan tapi pasti, mereka mulai merasakancinta. Halangan muncul dari orang tua mereka yang tidak setuju dengan hubungan mereka. Oti dan Raka akhirnya berpisah karena mereka mengetahui bahwa mereka sebenarnya adalah saudara sedarah.
Dua tahun berlalu, Oti yang kuliah di London datang ke Bandung untuk menemui Raka. Oti dan Raka sama-sama belum bisa melupakan cinta yang pernah terjadi diantara mereka. Akhirnya karena sebuah kecelakaan menyebabkan kehidupan mereka berubah. Oti menjadi lumpuh dan mereka mengetahui bahwa sebenarnya mereka bukan saudara sedarah. Namun kelumpuhan Oti tidak memupuskan perasaan Raka padanya, melainkan menguatkan cinta mereka.

- Tokoh
* Victory/Oti
* Raka
* Ai
* Ticka
* Laras

- Penokohan
* Victory/Oti: Tomboy, cuek, selalu membela temannya, baik, dan setia.
* Raka : Tenang, dewasa, baik, dan setia.
* Ai : Baik hati dan cerewet
* Ticka : Cerewet tetapi supel.
* Laras : Polos, pemalu, dan selalu bicara apa adanya.

- Alur
Novel ini menggunakan alur maju dan alur mundur. yaitu hubungan oti dengan raka yang awalnya benci menjadi suka satu sama lain dan hubungan mereka tidak direstui oleh kedua orang tua mereka dan mereka pun brjuang untuk mempertahankan hubungan itu sehingga mereka bisa bersama kembali.

- Kelebihan
Novel ini mempunyai kelebihan pada covernya yang terlihat menarik sehingga dapat menarik pembaca untuk membaca isinya. selain itu juga kelebihannya terletak pada bahasa yang dipakai sangat segar, dengan gaya bahasa anak muda jaman sekarang namun mudah untuk dipahami. Isinya pun cocok untuk dibaca oleh semua kalangan, mulai dari remaja hingga orang tua sekalipun.

- Kekurangan
Novel ini selain memiliki kelebihan juga memiliki kekurangan yaitu terdapat pada kertas yang digunakan, masih menggunakan kertas buram.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0

Artikel: PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH , METAMORFOSIS ULAT MENJADI KEPOMPONG



> Pendidikan Bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada para siswa di sekolah. Tak heran apabila mata pelajaran ini kemudian diberikan sejak masih di bangku SD hingga lulus SMA. Dari situ diharapkan siswa mampu menguasai, memahami dan dapat mengimplementasikan keterampilan berbahasa. Seperti membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Kemudian pada saat SMP dan SMA siswa juga mulai dikenalkan pada dunia kesastraan. Dimana dititikberatkan pada tata bahasa, ilmu bahasa, dan berbagai apresiasi sastra. Logikanya, telah 12 tahun mereka merasakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di bangku sekolah. Selama itu pula mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak pernah absen menemani mereka.

Tetapi, luar biasanya, kualitas berbahasa Indonesia para siswa yang telah lulus SMA masih saja jauh dari apa yang dicita-citakan sebelumnya. Yaitu untuk dapat berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.Hal ini masih terlihat dampaknya pada saat mereka mulai mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Indonesia baik secara lisan apalagi tulisan yang klise masih saja terlihat. Seolah-olah fungsi dari pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tidak terlihat maksimal. Saya penah membaca artikel dosen saya yang dimuat oleh harian Pikiran Rakyat. Dimana dalam artikel tersebut dibeberkan banyak sekali kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para mahasiswa saat penyusunan skripsi. Hal ini tidak relevan, mengingat sebagai mahasiswa yang notabenenya sudah mengenyam pendidikan sejak setingkat SD hingga SMU, masih salah dalam menggunakan Bahasa Indonesia.

Lalu, apakah ada kesalahan dengan pola pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah? Selama ini pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah cenderung konvesional, bersifat hafalan, penuh jejalan teori-teori linguistik yang rumit. Serta tidak ramah terhadap upaya mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Hal ini khususnya dalam kemampuan membaca dan menulis. Pola semacam itu hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Saya menyoroti masalah ini setelah melihat adanya metode pengajaran bahasa yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa. Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih kebiasaan berbahasa para siswa itu sendiri.

Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat sekolah sejak kelas 1 SD. Seperti ulat yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Mereka memulai dari nol. Pada masa tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku paket yang menjadi buku wajib. Sementara isi dari materinya terlalu luas dan juga cenderung bersifat hafalan yang membosankan. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja.

Saya mengambil contoh dari data tes yang dilakukan di beberapa SD di Indonesia tentang gambaran dari hasil pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD. Tes yang digunakan adalah tes yang dikembangkan oleh dua Proyek Bank Dunia, yaitu PEQIP dan Proyek Pendidikan Dasar (Basic Education Projects) dan juga digunakan dalam program MBS dari Unesco dan Unicef. Dari tes menulis dinilai berdasarkan lima unsur: tulisan tangan (menulis rapi), ejaan, tanda baca, panjangnya karangan, dan kualitas bahasa yang digunakan. Bobot dalam semua skor adalah tulisan (15%), ejaan (15%), tanda baca (15%), panjang tulisan (20%), dan kualitas tulisan (35%).

Hanya 19% anak bisa menulis dengan tulisan tegak bersambung dan rapih. Sedangkan 64% bisa membaca rapih tetapi tidak bersambung. Perbedaan antarsekolah sangat mencolok. Pada beberapa sekolah kebanyakan anak menulis dengan rapih, sementara yang lain sedikit atau sama sekali tidak ada. Ini hampir bisa dipastikan guru-guru pada sekolah-sekolah yang pertama yang bagus tulisannya secara reguler mengajarkan menulis rapi. Sementara sekolah-sekolah yang belakangan tidak.

Hanya 16% anak menulis tanpa kesalahan ejaan dan 52% anak bisa menulis dengan ejaan yang baik (sebagian besar kata dieja dengan benar), sementara lebih dari 30% dari kasus menulis dengan kesalahan ejaan yang parah atau sangat parah. 58 % anak memberi tanda baca pada tulisan mereka dengan baik (dikategorikan bagus atau sempurna), sementara itu lebih dari 35% kasus anak yang menulis dengan kesalahan tanda baca dan dikategorikan kurang atau sangat kurang.

58% siswa menulis lebih dari setengah halaman dan 44% siswa isi tulisannya yang dinilai baik, yaitu gagasannya diungkapkan secara jelas dengan urutan yang logis. Pada umumnya anak kurang dapat mengelola gagasannya secara sistematis

Alasan mengapa begitu banyak anak yang mengalami kesulitan dalam menulis karangan dengan kualitas dan panjang yang memuaskan serta dengan menggunakan ejaan dan tanda baca yang memadai ialah anak-anak di banyak kelas jarang menulis dengan kata- kata mereka sendiri. Mereka lebih sering menyalin dari papan tulis atau buku pelajaran. Dari data tersebut menggambarkan hasil dari KBM Bahasa Indonesia di SD masih belum maksimal. Walaupun jam pelajaran Bahasa Indonesia sendiri memiliki porsi yang cukup banyak.

Setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Ulat pun masih menjadi kepompong. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP. Bahkan ironisnya, belajar menulis sambung yang mati-matian diajarkan dahulu ternyata hanya sebatas sampai SD saja. Pada saat SMP penggunaan huruf sambung seakan-akan haram hukumnya, karena banyak guru dari berbagai mata pelajaran yang mengharuskan muridnya untuk selalu menggunakan huruf cetak. Lalu apa gunanya mereka belajar menulis sambung?

Seharusnya pada masa ini siswa sudah mulai diperkenalkan dengan dunia menulis (mengarang) yang lebih hidup dan bervariatif. Dimana seharusnya siswa telah dilatih untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam menulis: esai, cerita pendek, puisi, artikel, dan sebagainya. Namun, selama ini hal itu dibiarkan mati karena pengajaran Bahasa Indonesia yang tidak berpihak pada pengembangan bakat menulis mereka. Pengajaran Bahasa Indonesia lebih bersifat formal dan beracuan untuk mengejar materi dari buku paket. Padahal, keberhasilan kegiatan menulis ini pasti akan diikuti dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi di kalangan siswa.

Beranjak ke tingkat SMA ternyata proses pembelajaran Bahasa Indonesiapun masih setali tiga uang. Sang ulat kini hanya menjadi kepompong besar. Kecuali dengan ditambahnya bobot sastra dalam pelajaran bahasa indonesia, materi yang diajarkan juga tidak jauh-jauh dari imbuhan, masalah ejaan, subjek-predikat, gaya bahasa, kohesi dan koherensi paragraf, peribahasa, serta pola kalimat yang sudah pernah diterima di tingkat pendidikan sebelumnya. Perasaan akan pelajaran Bahasa Indonesia yang dirasakan siswa begitu monoton, kurang hidup, dan cenderung jatuh pada pola-pola hafalan masih terasa dalam proses KBM.

Tidak adanya antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain. Minat siswa baik yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan menulis sukses diterapkan sejak SMP maka seharusnya saat SMA siswa telah dapat mengungkapkan gagasan dan ''unek-unek'' mereka secara kreatif. Baik dalam bentuk deskripsi, narasi, maupun eksposisi yang diperlihatkan melalui pemuatan tulisan mereka berupa Surat Pembaca di berbagai surat kabar. Dengan demikian apresiasi dari pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari. Bila diberikan bobot yang besar pada penguasaan praktek membaca, menulis, dan apresiasi sastra dapat membuat para siswa mempunyai kemampuan menulis jauh lebih baik Hal ini sangat berguna sekali dalam melatih memanfaatkan kesempatan dan kebebasan mereka untuk mengungkapkan apa saja secara tertulis, tanpa beban dan tanpa perasaan takut salah.

Setelah melihat pada ilustrasi dari pola pengajaran tersebut saya melihat adanya kelemahan - kelemahan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. KBM belum sepenuhnya menekankan pada kemampuan berbahasa, namun lebih pada penguasaan materi. Hal ini terlihat dari porsi materi yang tercantum dalam buku paket lebih banyak diberikan dan diutamakan oleh para guru bahasa Indonesia. Sedangkan pelatihan berbahasa yang sifatnya lisan ataupun praktek hanya memiliki porsi yang jauh lebih sedikit. Padahal kemampuan berbahasa tidak didasarkan atas penguasaan materi bahasa saja, tetapi juga perlu latihan dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pandangan atau persepsi sebagian guru, keberhasilan siswa lebih banyak dilihat dari nilai yang diraih atas tes, ulangan umum bersama (UUB) terlebih lagi pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Nilai itu sering dijadikan barometer keberhasilan pengajaran. Perolehan nilai yang baik sering menjadi obsesi guru karena hal itu dipandang dapat meningkatkan prestise sekolah dan guru. Untuk itu, tidak mengherankan jika dalam KBM masih dijumpai guru memberikan latihan pembahasan soal dalam menghadapi UUB dan UAN. Apalagi dalam UUB dan UAN pada pelajaran bahasa Indonesia selalu berpola pada pilihan ganda. Dimana bagi sebagian besar guru menjadi salah satu orientasi di dalam proses pembelajaran mereka. Akibatnya, materi yang diberikan kepada siswa sekedar membuat mereka dapat menjawab soal-soal tersebut, tetapi tidak punya kemampuan memahami dan mengimplementasikan materi tersebut untuk kepentingan praktis dan kemampuan berbahasa mereka. Pada akhirnya para siswa yang dikejar-kejar oleh target NEM-pun hanya berorientasi untuk lulus dari nilai minimal atau sekadar bisa menjawab soal pilihan ganda saja. Perlu diingat bahwa soal-soal UAN tidak memasukan materi menulis atau mengarang (soal esai).

Peran guru Bahasa Indonesia juga tak lepas dari sorotan, mengingat guru merupakan tokoh sentral dalam pengajaran. Peranan penting guru juga dikemukakan oleh Harras (1994). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, dilaporkannya bahwa guru merupakan faktor determinan penyebab rendahnya mutu pendidikan di suatu sekolah. Begitu pula penelitian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Education Achievement menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat penguasaan guru terhadap bahan yang diajarkan dengan pencapaian prestasi para siswanya . Sarwiji (1996) dalam penelitiannya tentang kesiapan guru Bahasa Indonesia, menemukan bahwa kemampuan mereka masih kurang. Kekurangan itu, antara lain, pada pemahaman tujuan pengajaran, kemampuan mengembangkan program pengajaran, dan penyusunan serta penyelenggaraan tes hasil belajar. Guru Bahasa Indonesia juga harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa yang langsung berhubungan dengan aspek pembelajaran menulis, kosakata, berbicara, membaca, dan kebahasaan .Rupanya guru juga harus selalu melakukan refleksi agar tujuan bersama dalam berbahasa Indonesia dapat tercapai.

Selain itu, siswa dan guru memerlukan bahan bacaan yang mendukung pengembangan minat baca, menulis dan apreasi sastra. Untuk itu, diperlukan buku-buku bacaan dan majalah sastra (Horison) yang berjalin dengan pengayaan bahan pengajaran Bahasa Indonesia. Kurangnya buku-buku pegangan bagi guru, terutama karya-karya sastra mutakhir (terbaru) dan buku acuan yang representatif merupakan kendala tersendiri bagi para guru. Koleksi buku di perpustakaan yang tidak memadai juga merupakan salah satu hambatan bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran di sekolah perpustakaan sekolah hanya berisi buku paket yang membuat siswa malas mengembangkan minat baca dan wawasan mereka lebih jauh.

Menyadari peran penting pendidikan bahasa Indonesia, pemerintah seharusnya terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Apabila pola pendidikan terus stagnan dengan pola-pola lama, maka hasil dari pembelajaran bahasa Indonesia yang didapatkan oleh siswa juga tidak akan bepengaruh banyak. Sejalan dengan tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia supaya siswa memiliki kemahiran berbahasa diperlukan sebuah pola alternatif baru yang lebih variatif dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Agar proses KBM di kelas yang identik dengan hal-hal yang membosankan dapat berubah menjadi suasana yang lebih semarak dan menjadi lebih hidup. Dengan lebih variatifnya metode dan teknik yang disajikan diharapkan minat siswa untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dan memperlihatkan antusiasme yang tinggi. Selain itu guru hendaknya melakukan penilaian proses penilaian atas kinerja berbahasa siswa selama KBM berlangsung. Jadi tidak saja berorientasi pada nilai ujian tertulis. Perlu adanya kolaborasi baik antar guru Bahasa Indonesia maupun antara guru Bahasa Indonesia dengan guru bidang studi lainnya. Dengan demikian, tanggung jawab pembinaan kemahiran berbahasa tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru Bahasa Indonesia melainkan juga guru bidang lain. Apabila, sistem pembelajaran Bahasa Indonesia yang setengah-setengah akan terus begini, maka metamorfosis sang ulat hanyalah akan tetap menjadi kepompong. Awet dan tidak berkembang karena pengaruh formalin pola pengajaran yang masih berorientasi pada nilai semata.
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0

Negara Versus Korupsi: Mencari Indonesia Dalam Agama dan Kebudayaan



> Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Suatu kehormatan yang besar bagi kami memperoleh kesempatan menyampaikan Pidato Kebudayaan “Negara Versus Korupsi: Mencari Indonesia dalam Agama dan Kebudayaan” di Taman Ismail Marzuki. Terlebih lagi, kesempatan ini diberikan di dalam sepertiga akhir bulan mulia Ramadhan 1425 H. Saat dimana kita kian mendekatkan diri kepada-Nya sembari berkaca diri terhadap pencapaian moral spiritual individual dan kesalehan sosial kita. Untuk kehormatan yang membahagiakan ini kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dewan Kesenian Jakarta, yang telah memelihara suatu tradisi positif untuk menciptakan kedekatan hubungan rakyat dengan rakyat dan rakyat dengan pemimpin. Usaha ini perlu dipelihara dan didorong terus, mengingat makin berjaraknya hubungan keduanya. Dus, karena berjaraknya hubungan ini, isu-isu dan agenda bangsa menjadi elitis kian menjauh dari kepentingan kalangan akar rumput. Tradisi tatap muka ini, sangat mungkin menghadirkan kehangatan bersosialisasi, sekaligus memberi kesempatan para pemimpin untuk belajar langsung dari kebersahajaan rakyatnya.

Para hadirin dan hadirat yang terhormat, para budayawan, para seniman, para aktivis, para cendekiawan, para mahasiswa dan kawan-kawan tercinta,

Dalam kesempatan yang terhormat dan penuh kebahagian ini, sungguh tepat bila kita merenungkan sejenak perjalanan reformasi yang mengamanatkan demokratisasi , pemberantasan korupsi, perbaikan ekonomi dan jaminan keamanan. Perihal proses demokratisi, kita bersyukur kepada Allah SWT, karena rakyat telah berhasil melaksanakan pemilu legislatif, DPD dan pemilihan presiden langsung ; suatu tradisi berdemokrasi yang begitu penting dan akan menentukan nasib bangsa dan negara kita.

Harus diakui secara jujur, perjalanan nasib bangsa dan negara kita telah mengalami berbagai musim pancaroba dan gelombang pasang surut yang melahirkan harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan yang mendalam selama sewindu krisis multidimensi ini bahkan berimbas pada krisis identitas bangsa. Taufiq Ismail (2003) secara sinis memotret kondisi ini dalam, “Tak Tahu Aku Apa Jati Diriku Kini”:

Kita hampir paripurna jadi bangsa porak poranda,
terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara didunia

Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia kini, sudah untung
Pergelanggan tangan dan kaki Indonesia diborgol di ruang tamu Kantor
Pegadaian Jagat Raya, dan dipunggung kita kaos oblong dicap sablon
besar-besar : Tahanan IMF dan Bank Dunia.
Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu di dunia,
diusir pula di tangga pelabuhan,
terapung-apung di lautan,
Kita sudah tidak merdeka lagi.
Indonesia sudah masuk ke dalam masa kolonialisme baru,
dengan penjajah yang banyak negara sekaligus,
Nilai-nilai luhur telah luluh lantak,
berkeping-keping dan hancur,
berserakan di kubangan Lumpur,…”

Senada dengan gambaran di atas, dalam bahasa lain yang futuristik, pujangga Ronggowarsito (1802-1873) menulis “Serat Kalatidha” memprediksi munculnya “jaman edan”, suatu masa krisis sebuah bangsa. Secara bijak, pujangga ini menasihati kita agar tetap “eling” dan “waspada”.

Amenangi jaman edan ,ewuh aya ing pambudi

melu edan ora tahan

yen tan melu anglakoni,boya kaduman melik

kaliren wekasanipun

Ndilallah karsa Allah

Sakbeja-bejane kang lali

luwih beja kang eling lawan waspada.
.

Para hadirin dan hadirat yang berbahagia,

Masalah korupsi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh bangsa ini. Ia telah menjalar sebagai budaya sekaligus penyakit akut bagai virus ganas yang aktif menggerogoti ke sekujur tubuh negara. Ia bukan lagi bisul yang bisa ditutup-tutupi. Sungguh ironis, sebagai bangsa yang berbudaya luhur dan beragama –bahkan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pilar pertama dasar negara- juara pertama korupsi justru kita sandang. Berbagai indikator “olimpiade korupsi” diselenggarakan oleh lembaga asing semacam Transparancy International (TI) dan Political Economic Risk Consultancy (PERC), menempatkan RI sebagai ‘pemenang’.

Dampak praktik korupsi begitu jelas telah memporak-porandakan bangsa kita. Studi Rose Ackerman (1999) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat kepercayaan yang rendah terhadap institusi-institusi publik. Ini berakibat lanjut pada pudarnya komitmen warga pada proyek kolektif dan perilaku warga, memacu tingkat kriminalitas dan disorganisasi sosial. Secara lebih khusus, laporan UNSFIR (United Nations Support for Indonesia Recovery, 2000) menyatakan bahwa keterlambatan Indonesia untuk melakukan pemulihan (recovery) pasca krisis yang menimpa Asia sejak 1997 juga akibat meluasnya korupsi di sektor publik
Sedangkan, Della Porta (2000) menengarai bahwa korupsi merupakan sebab dari buruknya kinerja pemerintahan. “Korupsi membawa buruk kinerja pemerintahan, dan buruknya kinerja pemerintahan merangsang warga negara untuk mengembangkan praktik-praktik penyuapan untuk mempermudah urusan atau mempengaruhi proses pengambilan keputusan, yang pada gilirannya kian menyuburkan praktik korupsi. Pada akhirnya, tingginya tingkat korupsi menimbulkan rendahnya tingkat kepercayaaan terhadap demokrasi.” Dengan kata lain, meminjam istilah Yudi Latif (2002), korupsi sangat erat dengan delegitimasi politik. Walhasil, pemerintahan yang koruptif akan menuai delegitimasi politik yang tidak menguntungkan sama sekali dengan demokrasi.

Para hadirin dan hadirat yang berbahagia,

Relasi agama dan pemberantasan korupsi dapat disederhanakan sebagai, “prestasi negara yang bangsanya religius akan lebih baik dalam pemberantasan korupsi”. Apabila yang terjadi sebaliknya, kita tidak serta merta menunjuk kesalahan terletak pada an sich agama, namun pada penghayatan keberagamaan masyarakat. Sangat gamblang, semua agama melarang perbuatan korupsi. Tetapi, mengapa orang beragama masih terjerumus pada tindakan yang dimusuhi agama? Salah satu jawabannya adalah tercerabutnya penghayatan terhadap visi agama yang luhur dalam praksis sosial sehari-hari. Sebagian kita masih lebih mementingkan kesalehan individual, dan kehilangan elan kesalehan sosial. Disinilah dibutuhkan peran keteladanan para pemimpin nasional untuk menegakkan kualitas spiritual bangsa, memupuk kualitas moral dan meningkatkan harkat martabat bagsa , menjadi krusial.

Kita menaruh harapan besar pada upaya pemberantasan korupsi sebagaimana telah dijanjikan oleh presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono yang kini bekerja keras dengan kabinet Indonesia Bersatu. Selain keberadaan berbagai perundangan untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang bebas KKN, rencana program 100 hari dengan terapi kejut seperti me”Nusakambang”kan para koruptor patut kita apresiasi dan tunggu pengejawantahannya. Larangan yang diserukan Komite Pemberantasan Korupsi supaya pejabat tidak menerima parsel juga merupakan angin segar pertanda mulai muncul gerakan mengurangi masuknya pintu-pintu budaya KKN.

Jauh sebelum hingar bingar Pemilu, ormas tertua di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah bersama-sama telah mengikat janji untuk bahu membahu memerangi budaya korupsi. Kita juga bersyukur dengan maraknya jaringan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah sejak beberapa tahun silam membentuk koalisi anti korupsi di setiap kabupaten dan provinsi melalui Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK).

Meskipun perlu terus mengkritisi efektivitas gerakan populis tersebut, kita berharap ormas-ormas lain untuk terlibat aktif dan kreatif menyambut semangat perang memberantas korupsi. Secara moral, lembaga dan ormas keagamaan memiliki otoritas menyerukan kepada institusi maupun individu anggotanya untuk menolak keras setiap sumbangan haram yang terindikasikan korupsi. Seruan atau slogan-slogan pemberantasan budaya korupsi seyogianya selalu dikelola secara cerdas dan berkesinambungan, mengimbangi kampanye konsumtivisme, hedonisme dan materialisme yang setiap hari gencar mengepung pemirsa lewat berbagai media massa.

Alangkah indahnya membayangkan sinergi agama dan negara dalam pemberantasan korupsi; penegakkan hukum yang adil tanpa pandang bulu dilakukan pemerintah , sementara penghayatan keberagamaan melalui keteladanan para pemimpin dijalankan secara nyata, bukan sekedar wacana belaka.

Dengan begitu agama benar-benar mampu menjadi kekuatan solutif bagi problema bangsa dan selalu mengedepankan azas manfaat (utility). Agama seyogianya menjadi ujung tombak yang merekatkan seluruh umat untuk saling mengokohkan eksistensi bangsa dalam memberantas korupsi. Ini sekaligus menepis anggapan negatif bahwa agama menjadi sumber konflik dan teror. Kita patut mendorong fungsi profetik agama yang mengedepankan supremasi hukum, proses demokratiasai dan memerangi korupsi. Fungsi ini hendaknya ditumbuh kembangkan secara partisipatoris dan dialogis mengingat pluralisme dalam kebangsaan kita. Jadi, tidak dibenarkan oleh agama atau hukum positif manapun, upaya pengurasakan secara sepihak terhadap tempat-tempat atau simbol kemaksiatan tanpa mengindahkan dampak yang muncul sebagai akibatnya.

Terdapat ungkapan ‘the fish rots from the head’, ikan membusuk dari kepala. Dalam kalimat lain dinyatakan, ‘Bayangan selalu mengikuti sang badan’. Intinya adalah budaya paternalistik kita masih kuat. Rakyat cenderung melihat contoh dari apa yang dilakukan pemimpinnya. Karenanya, budaya paternalistik ini seyogianya mampu kita kelola untuk merekonstruksi perubahan mental pada elitnya. Jika para elit pimpinan bangsa menghendaki perubahan, perubahan itu pun harus dimulai dari pucuk pimpinan. Mustahil mengharapkan muncul perubahan budaya melawan korupsi, apabila elit pemimpin justru merasa nyaman dengan praktik tersebut. Mustahil mengharap negara berani membersihkan koruptor jika pemimpin kita membiarkan inefisiensi birokrasi tetap terjadi.

Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian merupakan contoh-contoh ajaran mulia setiap agama untuk diperbincangkan sekedar sebuah idiologi. Semua ini bisa dipraktikkan sehari-hari, dan alangkah indahnya jika dimulai dari para pemimpin kita yang memiliki kedudukan sangat penting di dalam masyarakat, dan karenanya mempunyai pengaruh yang luas dalam masyarakat.

Pada dasarnya, semua agama mengajarkan idealisme yang baik bagi penganutnya. Idealisme seperti bersahaja, bersih dan peduli jika dikerjakan dari yang kecil-kecil oleh pemimpin-pemimpin besar kita, maka merupakan bagian dari pengobatan penyakit sosial seperti korupsi.

Pemimpin yang peduli tidak akan membiarkan kemungkaran terjadi di depan mata mereka. Mereka tidak saja menjaga fisik dan lingkungan sosial yang bersih, namun lebih dari itu kebersihan moral dan nurani akan selalu dipelihara. Mereka merasa kepemimpinan adalah amanah yang harus dijunjung tinggi, namun tetap dengan sikap bersahaja terhadap rakyat yang dipimpinnya. Mereka yang bersahaja akan jauh dari sikap tamak yang selalu menginginkan kelebihan materialisme dan hedonisme, -sumber godaan melakukan korupsi-.

Kebesaran seorang tokoh pemimpin yang bersahaja, bersih dan peduli tidak datang secara sekejap dan tiba-tiba. Ia terlahir dari proses transformasi nilai yang lama ditempa sejak dini dalam lingkungan keluarga. Transformasi nilai tidak datang mendadak dalam kuliah-kuliah di perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pendidikan formal. Kepuasan kita selama ini hanya pada verbalisme (Nurcholish Madjid, 2004) Yaitu perasaan telah berbuat sesuatu karena karena telah mengucapkannya sehari-hari. Seolah-olah kalau kita bicara kitab suci, sabda Tuhan, sabda Allah, dan suri tauldan para Rasul, para nabi, para aulia itu semuanya sudah selesai (Mohamad Sobary, 2004). Kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian tidak akan terwujud hanya karena dikatakan dan dibicarakan setiap hari –betapapun kita sering dan rajinnya melakukan –melainkan harus dengan tindakan keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah. “Mengapa kamu semua mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya?! Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mengerjakannya”

Kalau kita tengok sejarah, transformasi nilai yang dialami tokoh-tokoh pemimpin berawal dari didikan sejak kecil pada keluarga mereka. Di rumah tangga, patut diadakan dialog-dialog tata nilai atau ajaran yang meskipun normatif, tidak melulu diajarkan secara normatif. Diperlukan pendekatan secara dialektis dalam keluarga sehingga terlatih jika ada bandingan-bandingan. Ketika orang bicara bersih dan bersahaja, maka bersih dan bersahaja tidak bisa dijejalkan kepada anak sebagai sesuatu yang jadi. Ketika masih kanak-kanak kita tentu hapal bahwa kebersihan sebagian dari iman, namun bagaimana kebersihan sebagian dari iman itu supaya tidak tinggal kata-kata.

Secara singkat dapat disimpulkan, kita menginginkan pemimpin bersahaja, bersih dan perduli bukan karena kebetulan bersahaja, bersih dan perduli. Namun karena bersahaja yang betul, tidak karena kebetulan. Bersih dan perduli pun yang betul, bukan karena kebetulan. “Tugas kebudayaan bangsa kita mengubah, mentransformasi segala hal apakah itu wisdom, apakah itu nilai-nilai dan semua perangkat ajaran dari tataran normatif menjadi tataran yang menyejarah, membuat orang-orang jujur itu jujur menyejarah.” (M. Sobary, 2004) .Barangkali inilah saatnya tatkala elit pemimpin kita justru perlu belajar dari kebersahajaan, kebersihan dan kepedulian dari rakyatnya.

Keteladanan yang berani, teguh dan istiqamah termasuk nilai budaya yang kita ingin transformasikan sehingga menjadi gerakan nyata baik di tingkat elit pemimpin atau rakyat. Keteladan yang berani dapat muncul oleh karena kesadaran ketuhanan yang merata. Menurut Moh. Iqbal:

“The sign of a kafir is that he is lost in horizon, while the sign of a mukmin is that the horizon lost in him”

Para hadirin dan hadirat yang berbahagia,

Sesuai dengan pasal 32 UUD 1945 yang telah diamendemen, salah satu tugas kebudayaan kita juga adalah mendorong pluralisme budaya. Negara memajukan kebudayaan nasional dengan tetap menjamin kemerdekaan masyarakat dalam melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaanya. Selanjutnya, negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Kemajemukan budaya ini harus kita terus dorong tanpa perlu terjebak pada etnosentrime sempit sehingga warisan adi luhung nenek moyang kita tetap eksis di tengah-tengah pertempuran global elemen budaya asing.

Salah satu warisan adi luhung yang cukup relevan kita pelihara adalah wasiat Ronggowarsito. Di tengah zaman “edan”, ketika budaya korupsi sudah mewabah demikian dahsyat, nasihat untuk“eling” dan “waspodo” dapat dikontekstualisasi dengan apa yang menjadi nilai-nilai kebangsaan di dalam UUD 1945.

Kita diharapkan ‘eling’ bahwa bangsa ini memiliki potensi untuk bangkit dan bersaing dengan budaya bangsa lain (global). Kita menyadari , ‘eling’ sepenuhnya bahwa dengan kesederhanaan ketika masa perjuangan mampu menghantarkan bangsa ini merdeka dari penjajah.

“Waspodo” dapat dimaknai agar kita menghadirkan kesadaran penuh tentang jati diri bangsa yang tidak ingin tereduksi justru karena budaya korupsi. Secara sederhana, budaya ‘waspodo’ telah ditunjukkan oleh rakyat kita dalam Pemilu 2004 silam. Budaya ‘money politics’ sudah berkurang tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak.

Wallahua’lam bishowaab,

Wabillahitaufik wal hidaayah,

Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Pages

Sample Widget

Cari Blog Ini

Back to Top